Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Kisah Seorang Ayah yang Mati Dalam Kekecewaan

Setiap orang tua pasti memiliki harapan agar anaknya menjadi orang yang lebih baik dari dirinya. Setiap orang tua tentu merasa bahagia saat melihat putra – putrinya dapat hidup dengan baik dan mandiri. Walaupun terkadang orang tua tidak bisa mengatakan melalui kata – kata betapa mereka sangat menyayangi kita, jauh di lubuk hatinya ia menyimpan segudang rasa sayang dan pengharapan itu, terutama sang ayah. Mungkinkah kita bisa melupakan betapa terkadang ia begitu keras mendidik kita bahkan mungkin sempat memukul kita saat kita melakukan sesuatu di luar harapannya, namun sesungguhnya di belakang kita ia sangat menyesali perbuatannya itu dan berharap kita bisa menjadi orang yang lebih baik lagi nantinya.
Sebuah kisah nyata dari seorang teman ayah saya sendiri yang cukup memilukan dan saya harap kalian semua yang membaca tulisan ini dapat merenunginya dan mengambil pelajaran dari kisah berikut ini. Adalah seorang ayah yang memiliki 3 orang anak yang ke tiga anaknya tersebut ia sekolahkan setinggi mungkin. Dapat dikatakan keluarga ini cukup beruntung, dengan pekerjaan si ayah yang mempunyai bengkel yang cukup sukses yang tentunya memiliki penghasilan cukup besar untuk menyekolahkan anak-anaknya. Bahkan dulu (sekitar tahun 1990-an) si ayah harus mengeluarkan uang sekitar 5 juta rupiah per bulannya untuk membayar uang kuliah ke tiga anaknya. Di zaman tersebut tentu saja uang dengan jumlah sekian tidak bisa dibilang sedikit.
Dengan seluruh pengorbanan si ayah dan harapan yang begitu besar kepada ke tiga anak-anaknya, akhirnya si anak pertama dapat lulus sebagai seorang Insinyur, anak ke dua lulus dengan menyandang gelar Sarjana Ekonomi dan anak terakhir sampai saat ini masih duduk di bangku kuliah. Tapi mungkin benar apa yang dikatakan orang – orang gelar pendidikan tidak dapat menjamin kehidupan seseorang. Dan ternyata itu terbukti benar, anak pertama yang selepas lulus sudah disiapkan oleh ayahnya untuk bekerja di salah satu bank malah menolak dan memilih menikah dengan seorang tukang bakso. Saya tentu tidak memandang sebelah mata kepada para penjual bakso, apa pun pekerjaannya selama itu halal tentu tidak menjadi soal. Tapi bayangkan saja, seorang insinyur yang tinggal menduduki sebuah jabatan tanpa bersusah payah malah meninggalkan kesempatan tersebut dan memilih hidup melarat dengan seorang tukang bakso. Dan seperti yang di duga, gaji suaminya tidak dapat mencukupi kebutuhan dirinya serta anaknya. Jadilah mereka menumpang hidup bersama orang tua dari si gadis. Pada akhirnya semua titel dan pendidikan yang ia peroleh selama kuliah sama sekali tidak berguna.
Tak cukup sampai disana, anak kedua yang menjadi harapan selanjutnya dari si ayah justru mengikuti jejak sang kakak. Seorang sarjana ekonomi yang juga sudah dipersiapkan pekerjaan oleh sang ayah menikah dengan seorang kuli bangunan dan menumpang hidup pula dengan orang tuanya. Dan satu – satunya harapan terakhir jatuh kepada sang adik yang juga bernasib sama yang entah bagaimana ceritanya menikah dengan pecandu narkoba dan sedang hamil anak pertama. Dan sama dengan kedua kakaknya, anak terakhir ini pun turut menumpang bersama orang tuanya hingga kini.
Si ayah yang merupakan teman dekat dari ayah saya selalu berkeluh kesah dengan keadaannya saat ini. Ia selalu mengeluhkan nasib ketiga anaknya yang seharusnya menjadi tumpuan hidupnya di hari tuanya. Ia sangat kecewa dengan pilihan ke tiga anaknya yang justru membuat hidup mereka dan dirinya semakin susah. Anak yang disekolahkannya hingga tamat yang seharusnya mampu hidup mandiri justru semakin memberatkan hidupnya. Bahkan ia harus menanggung kehidupan 3 anaknya yang semuanya sudah menjadi sarjana. Sungguh ironis bukan?
Di tengah kekecewaannya terhadap putra – putrinya, kesehatannya semakin menurun seiring usianya yang semakin bertambah tua. Dan kemarin saat saya baru pulang mengantarkan ibu saya dari dokter, ayah saya sudah menunggu di depan pintu pagar rumah dengan berita buruk. Temannya tersebut meninggal dunia di rumahnya beberapa hari setelah ia pulang menjalani perawatan di rumah sakit. Saya hanya bisa mengucap Inna Lillahi Wa Inna Illaihi Ra’jiun... Saya terus berucap demikian sambil terus membayangkan wajah teman ayah saya tersebut. Saya turut sedih mendengar seorang ayah yang memiliki pengharapan besar terhadap anak – anaknya harus meninggal sebelum sempat melihat putra – putrinya memnuhi harapannya, dan justru harus meninggal dalam keadaan menahan kekecewaan dalam hatinya.
Saya berharap bahwa ayah saya tidak akan mengalami nasib serupa. Saya akan bekerja keras demi memenuhi harapan kedua orang tua saya agar saya mampu hidup mandiri dan menjadi orang sukses. Impian yang begitu sederhana dari setiap orang tua di dunia, namun perlu kerja keras untuk mewujudkannya. Semoga tidak ada lagi ayah – ayah lain yang harus mengalami nasib yang sama dengan teman ayah saya tersebut. Semoga tiap anak yang membaca kisah ini bisa berubah setelahnya menjadi orang yang jauh lebih baik dan dapat memenuhi harapan kedua orang tuanya. Amiin...
Sumber Klik disini

Posting Komentar untuk "Kisah Seorang Ayah yang Mati Dalam Kekecewaan "